SELAMAT JUMPA,
Apa kabar, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan taufik dan hidayah, sehingga dapat melanjutkan tugas suci, YANG bermoral dan berbudaya

LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR

LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR
SISWA AKTIF BELAJAR

Kamis, 18 Maret 2010

REVITALISASI PENDIDIKAN DI MADRASAH DI ERA TEKNOLOGI

Merosotnya moral bangsa dewasa ini sudah sampai ke titik nadir dalam sejarah perjalanan peradaban bangsa Indonesia. Adanya tawuran antar pelajar dan mahasiswa, pemerkosaan massal, pembakaran gedung sekolah, perusakan rumah, mutilasi, penjualan manusia, penipuan melalui facebook, sampai dengan perjudian menggunakan jaringan internet dan masih banyak lagi merupakan indikator yang paling meyakinkan untuk menjustifikasi klaim di atas.
Tuduhan adanya pergeseran moral di kalangan “remaja” saat ini, sebenarnya tidak lepas dari peran serta dunia pendidikan. Apa yang disampaikan di atas, bisa jadi hanyalah tuduhan sepihak bagi dunia pendidikan, mengingat dunia pendidikan memiliki peran sangat urgen dalam menciptakan stabilitas sosial. Selama ini, pencitraan dan peleburan stratifikasi sosial adalah hasil dari upaya dunia pendidikan. Tetapi di sisi lain, dunia pendidikan juga berperan besar terhadap terciptanya instabilitas sosial. Ketika formalitas pendidikan menjadi ukuran ke-profesional-an seseorang “seperti saat ini” banyak orang yang terjebak dengan status pendidikan seseorang.

Akibat dari perilaku ini setidaknya dunia pendidikan telah mengajarkan kepada kita untuk membohongi publik. Hingga tidak heran jika pada tataran kebijakan dan pelaksanaannya juga cenderung membohongi. Ditengarai bahwa institusi pendidikan telah mengalami kegagalan dalam melakukan internalisasi nilai-nilai kepada anak didiknya (Kartono, 2002).

Oleh karena itu, tidak begitu heran kalau Roem Topatimasang (2002) mengklaim bahwa sekolah sudah mati, dan bahkan merupakan candu. Bahkan pula seperti yang diyakini Sindhunata (dalam Harefa, 2003) bahwa pendidikan kita telah melahirkan air mata. Sekolah, oleh mereka sudah diyakini tidak dapat menggarap tiga taksonomi pendidikan yang merupakan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan : cognitive domain (pengembangan pengetahuan), afective domain (pembentukan sikap dan watak), dan psicomotoric (conative) domain (pengimplementasian/ melatihkan keterampilan dalam kehidupan sehari-hari) (Djohar, 200).

Kegagalan sekolah/madrasah dalam menjalankan fungsi pendidikannya lebih terlihat ketika sekolah gagal melakukan internalisasi nilai kepada para peserta didik. Kegagalan ini dipandang sebagai kekurangberdayaan pendidikan agama dan budi pekerti terutama di sekolah-sekolah umum karena menurut Kartono (2002) pendidikan (sekolah) kita telah tergadai.
Pada hakekatnya untuk mengembangkan nilai-nilai moral diperlukan adanya intervensi lingkungan sekolah. Sekolah mempunyai peran dalam mempengaruhi perkembangan moral anak. Di sekolah anak-anak bergaul dan berinteraksi baik dengan kelompok teman sebayanya maupun dengan para guru dan komponen lain yang ada. Di sini anak-anak cukup banyak memperoleh modal atau contoh-contoh perilaku dari lingkungannya.

Menurut William Chang bahwa anak-anak Indonesia dalam proses pendidikannya memerlukan peningkatan pendidikan nilai-nilai moral, karena saat ini sudah terdapat pergeseran nilai-nilai moral yang berisi penghormatan terhadap sesama manusia, tanggung jawab, kejujuran, kerukunan dan kesetiakawanan yang berasal dari nilai-nilai tradisional yang berupa adat istiadat dan kebiasaan luhur dari nenek moyang kita yang telah digeser oleh otonomi manusia dengan mendewakan kebebasan pribadi. Sehingga manusia merasa bahwa pihak lain tidak berhak mengaturnya

Pendapat senada juga terungkap dalam tulisan Peter J Drost, yang mengatakan bahwa kurikulum madrasah saat ini tampaknya lebih banyak mengemukakan muatan materi yang terlalu berat dan menitik beratkan pada kemampuan intelektual, sedangkan muatan nilai pendidikannya sudah berkurang. Sehingga anak-anak perlu diberikan pendidikan khusus tentang budi pekerti yang bisa diperoleh di rumah maupun di sekolah,.

Bahwa orang sering menganggap sekolah hanyalah sekedar eskalator sosial. Masyarakat cenderung menganggap jenjang-jenjang pendidikan formal hanyalah sebagai tahapan yang harus dilalui untuk dapat menempati status sosial yang lebih tinggi. Di kalangan anak sekolah sendiri, sudah lazim bahwa kegiatan belajar tidak dipandang sebagai proses untuk mengembangkan diri, melainkan lebih dianggap sebagai jalan pintas untuk menuju kehidupan yang lebih nyaman tanpa kerja keras dan serba menyenangkan. Yang ada dalam bayangan mereka adalah sekolah dan lulus kemudian bekerja dan dapat duit. Itulah motto yang tampaknya berlaku umum di kalangan kaum terdidik sekarang ini.

Karena itu yang perlu diusahakan dalam dunia pendidikan terutama di madrasah adalah tetap mempertahankan pendidikan etika moral dan kemanusiaan dalam upaya membentuk sumber daya manusia secara lebih utuh. Harapannya peserta didik dapat memahami dan mencapai kemanusiaan sebaik-baiknya, sehingga mengerti siapakah manusia dan bagaimana memperlakukan manusia lain sebagai manusia.

Namun demikian bukan berarti upaya-upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebaiknya dihentikan atau dianggap tidak perlu. Pendidikan etika dan moral tidak bermaksud menentang atau menghambat usaha mendidik tenaga-tenaga ahli dibidang teknologi. Kemampuan teknologi dan professional dan lainnya yang dimiliki seseorang akan makin optimal dan makin luas mamfaatnya bagi bangsa, apabila manusia pemiliknya makin tinggi moral dan rasa kemanusiaannya, sebaliknya akan sangat berbahaya apabila kemampuan dan kecakapan teknologis dan professional di bidang tertentu dimiliki oleh seseorang yang jauh dari kecerdasan moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar