SELAMAT JUMPA,
Apa kabar, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan taufik dan hidayah, sehingga dapat melanjutkan tugas suci, YANG bermoral dan berbudaya

LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR

LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR
SISWA AKTIF BELAJAR

Minggu, 28 Maret 2010

PEMBELAJARAN BERMAKNA


Pada dasarnya prinsip belajar lebih dititikberatkan pada aktivitas peserta didik yang menjadi dasar proses pembelajaran baik dijenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah lanjutan Tingkat Atas (SLTA) maupun Tingkat Perguruan Tinggi.
Arifin (1978) mendefinisikan bahwa mengajar adalah ” . suatu rangkaian kegiatan penyampaian bahan pelajaran kepada murid agar dapat menerima, menanggapi, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran itu “.
Tyson dan Caroll (1970) mengemukakan bahwa mengajar ialah . a way working with students … A process of interaction . the teacher does something to student, the students do something in return. Dari definisi itu tergambar bahwa mengajar adalah sebuah cara dan sebuah proses hubungan timbal balik antara siswa dan guru yang sama-sama aktif melakukan kegiatan. Nasution (1986) berpendapat bahwa mengajar adalah ” . suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar”.
Tardif (1989) mendefinisikan, mengajar adalah . any action performed by an individual (the teacher) with the intention of facilitating learning in another individual (the learner), yang berarti mengajar adalah perbuatan yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pendidik) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (dalam hal ini peserta didik) melakukan kegiatan belajar.
Biggs (1991), seorang pakar psikologi membagi konsep mengajar menjadi tiga macam pengertian yaitu
a) Pengertian Kuantitatif dimana mengajar diartikan sebagai the transmission of knowledge,
yakni penularan pengetahuan. Dalam hal ini guru hanya perlu menguasai pengetahuan bidang
studinya dan menyampaikan kepada siswa dengan sebai-baiknya. Masalah berhasil atau
tidaknya siswa bukan tanggung jawab pengajar.
b) Pengertian institusional yaitu mengajar berarti . the efficient orchestration of teaching skills,
yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Dalam hal ini guru dituntut untuk
selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar terhadap siswa yang memiliki
berbagai macam tipe belajar serta berbeda bakat , kemampuan dan kebutuhannya.
c) Pengertian kualitatif dimana mengajar diartikan sebagai the facilitation of learning, yaitu
upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa mencari makna dan pemahamannya
sendiri. Dari definisi-definisi mengajar dari para pakar di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
mengajar adalah suatu aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari
pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan
sehingga terjadi proses belajar dan tujuan pengajaran tercapai.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar, mengajar dan pembelajaran ádalah tiga permaslahan yang tidak dapat dipisahkan ibarat sisi mata uang. Karena ketiga persoalan tersebut sama-sama merupakan proses untuk memperoleh ilmu pengetahun yang bermuara pada perubahan tingkah laku.

Senin, 22 Maret 2010

KONSEP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN


A. Hakekat Belajar.
Belajar pada esensinya dilakukan oleh semua makhluk hidup, mulai dari bentuk kehidupan yang paling simpel sampai dengan yang paling kompleks. Bagi manusia, belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kemampuan, ketrampilan, dan sikap. Manusia belajar dimulai sejak bayi, seorang bayi mengusai ketrampilan-ketrampilan yang sederhana, seperti mengenal orang di sekelilingnya, mengucapkan dua suku kata. Menginjak masa kanak-kanak dan remaja, sejumlah sikap, nilai dan ketrampilan berinteraksi sosial dicapai sebagai kompetensi. Saat dewasa, individu diharapkan telah mahir dengan tugas-tugas kerja tertentu dan ketrampilan fungsional lain.
Kemampuan manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Belajar mempunyai faedah dan manfaat bagi individu manusia itu sendiri maupun bagi masyarakat lingkungannya. Bagi individu. Kemampuan untuk belajar secara terus menerus akan memberikan kontribusi terhadap pengembangan kualitas hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat, belajar mempunyai peran yang sangat vital dalam mentranfer budaya dan nilai moral serta pengetahuan pada generasi ke generasi.
Belajar merupakan aktivitas manusia tanpa mengenal waktu dan tempat, tanpa mengenal usia, bahkan aktivitas belajar tanpa mengenal situasi dan keadaan( long life education ) dalam undang-undang no 20 tahun 2003 dengan gamblang mencetuskan dengan statement belajar sepanjang hayat ( tholabul ilmi minal mahdi ilal lahdi ).
Sehingga dapat dipahami bahwa hakekat belajar merupakan kebutuhan manusia yang paling esensial untuk mencapai kemampuan, ketrampilan, ketentraman, kebahagian menjalani sendi hidup dan kehidupan sehari-hari, serta dapat berinterkasi dengan masyarakat sekitarnya. Dengan belajar pula manusia dapat memenuhi hajatnya tergantung pada tingkat kerumitanan jenis kehidupan yang dialami makhuk tersebut. Manusia, sebagai makhluk yang paling unik, melakukan kegiatan belajar dengan cara dan sistem yang unik pula.

B. Definisi Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara etimologis belajar memiliki arti " berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu " . definisi ini mempunyai pengertian, bahwa belajar adalah sebuah kegiatan untuk mencapai kepandaian atau memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, bahwa kegiatan belajar adalah usaha untuk mencapai kepandaian atau ilmu guna memenuhi kebutuhan mendapatkan ilmu pengetahuan yang belum mereka kuasai atau peroleh sebelumnya. Sehingga dengan belajar manusia menjadi tahu, memahami, mengerti, dapat melaksana dan memiliki tentang sesuatu. Banyak para filosof pendidikan menerjemahkan makna belajar yang beraneka ragam sesuai dengan basis keilmuan, aliran dan sistem psikologi yang dianutnya. Ada beberapa tafsiran tentang belajar antara lain :
1. Pengertian Belajar Cronbach (1954) berpendapat : Learning is shown by a change in behaviour as result of experience ; belajar dapat dilakukan secara baik dengan jalan mengalami. Menurut Spears : Learning is to observe, to read, to imited, to try something themselves, to listen, to follow direction, dimana pengalaman itu dapat diperoleh dengan mempergunakan panca indra
2. Robert. M. Gagne dalam bukunya : The Conditioning of learning mengemukakan bahwa : Learning is a change in human disposition or capacity, wich persists over a period time, and wich is not simply ascribable to process of growth. Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Gagne berkeyakinan, bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalam diri dan keduanya saling berinteraksi. Dalam teori psikologi konsep belajar Gagne ini dinamakan perpaduan antara aliran behaviorisme dan aliran instrumentalisme.
3. Morgan dan kawan-kawan (1986) menyatakan, belajar adalah perubahan tingkah laku yang relative tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman. Pernyataan morgan di atas sejalan dengan para ahli yang menyatakan bahwa belajar merupakan proses yang dapat menyebabkan perubahan tingkah laku disebabkan adanya reaksi terhadap situasi tertentu atau adanya proses internal yang terjadi di dalam diri seseorang. Perubahan ini tidak terjadi karena warisan genetic atau respon alamiah, kedewasaan, atau keadaan organisme yang bersifat temporer, seperti rasa lelah, takut dan lain sebagainya. Melainkan perubahan dalam pemahaman, prilaku, persepsi, maotivasi atau gabungan dari semuanya.
4. Lester.D. Crow and Alice Crow mendefinisikan : Learning is the acuquisition of habits, knowledge and attitudes. Belajar adalah upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap-sikap.
5. Hudgins Cs. (1982) berpendapat Hakekat belajar secara tradisional belajar dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam tingkah laku, yang mengakibatkan adanya pengalaman . Jung , (1968) mendefinisikan bahwa belajar adalah suatu proses dimana tingkah laku dari suatu organisme dimodifikasi oleh pengalaman. Ngalim Purwanto, (1992 : 84) mengemukakan belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku, yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman
6. Psikologi Daya berpendapat, bahwa belajar adalah melatih daya-daya yang dimiliki manusia. Dengan latihan tersebut akan terbentuk dan berkembang berbagai daya yang dapat berfungsi sebagaimana mestinya, seperti daya ingat,daya pikir, daya rasa, dan sebagainya
7. Woolfolk memberikan pernyataan, bahwa " learning occurs when experience causes a relatively permanent change in an individual's knowled ge or behavior. Perubahan yang terjadi melalui proses belajar ini bisa saja ke arah yang lebih baik atau sebaliknya, kearah yang salah.
8. Romine berpendapat, bahwa " learning is defined as the modification or strengthening of behavior through experiencing ". belajar merupakan suatu proses dan bukan hasil yang hendak dicapai semata.
9. Menurut Hilgrad dan Bower dalam Fudyartanto ( 2002 ) belajar memiliki arti, memperoleh pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, mendapatkan informasi atau menemukan.
Dari berbagai definisi di atas, dapat menemukan kesamaan-kesamaan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli psikologi maupun ahli pendidikan. Bedanya, ahli psikologi memandang belajar sebagai perubahan yang dapat dilihat dari tingkah laku manusia tanpa memandang dari segi negative maupun positif, sedangkan ahli pendidikan memandang belajar sebagai perubahan manusia kearah tujuan yang lebih baik yang berorientasi pada tingkah laku, pengetahuan, ketrampilan maupun sikap. Bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi. Oleh sebab itu apabila setelah belajar manusia tidak ada perubahan tingkah laku yang positif dalam arti tidak memiliki kecakapan baru serta wawasan pengetahuan tidak bertambah maka dapat dikatakan bahwa belajarnya belum sempurna.

C. Ciri-Ciri Belajar
Dari definisi-definisi para pakar tersebut diatas dapat disimpulkan adanya beberapa
ciri belajar :
1. Belajar ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku. Artinya, hasil belajar manusia mengakibatkan perubahan-perubahan tingkah laku, misalnya sebelum belajar, mereka kurang terampil, setelah belajar mereka sangat terampil, dan lain sebagainya
2. Perubahan perilaku relative permanent. Artinya perubahan tingkah laku untuk waktu tertentu akan tetap tidak berubah-rubah
3. Perubahan tingkah laku tidak harus dapat diamati pada saat proses belajar sedang berlangsung, perubahan perilaku tersebut besifat potensial
4. Perubahan tingkah laku/sikap dihasilkan dari pengalaman atau latihan. Pengalaman atau latihan dapat memberi penguatan, dengan adanya penguatan melahirkan motivasi dan semangat.

D. Proses belajar
Proses belajar adalah serangkaian aktivitas yang terjadi pada pusat saraf invidu yang belajar. Proses belajar terjadi secara abstrak, karena terjadi secara mental dan tidak dapat diamati. Oleh karena itu, proses belajar hanya dapat diamati, jika ada perubahan tingkah laku dari seseorang yang berbeda dengan sebelumnya. Perubahan tingkah laku tersebut bisa dalam hal pengetahuan, afektif maupun psikomotoriknya. Beberapa pakar pendidikan berpendapat mengenai proses belajar, antara lain :
1. Dr. Musthafa Fahmi mengatakan bahwa belajar merupakan proses jiwa yang me-
hasilkan perubahan tingkah laku atau pengamalan. Ini berarti belajar memerlukan
proses panjang sehingga sampai menghasilkan perubahan tingkah laku dalam ini
tingkah laku manusia yang relatif tetap.
2. Menurut Gagne ( Winkel,2007 ), prose belajar, terutama belajar yang terjadi di
sekolah, itu melalui beberapa fase-fase :
a. Fase Motivasi, yaitu saat motivasi dan hasrat siswa untuk melakukan kegiatan belajar bangkit, maka siswa tersebut dengan mudah menerima materi pelajaran yang disampaikan oleh pendidik karena perhatian siswa tertuju pada kegiatan belajar yang efektif. Misalnya siswa simpatik untuk memperhatikan apa yang akan dipelajari, melihat apa yang ditunjukkan guru seperti alat peraga, media, model pembelajaran, dan mendengar apa yang dikatakan pendidik.
b. Fase Konsentrasi, yaitu saat siswa harus memusatkan perhatian yang telah ada pada tahap motivasi, untuk tertuju pada hal-hal yang relevan dengan apa yang akan dipelajari. Pada fase motivasi memunkinkan perhatian siswa hanya ke penampilan guru.
c. Fase mengolah, siswa menahan informasi yang diterima dari guru dalam short term memory, kemudian mengolah informasi untuk diberi makna berupa sandi-sandi sesuai dengan penangkapan masing-masing. Hasil olahan itu berupa simbol-simbol khusus yang antara satu siswa dengan lainnya berbeda. Simbol hasil olahan tergantung dari pengetahuan dan pengalaman sebelumnya serta kejelasan penangkapan sisa. Karena itu, tidaklah aneh jika setiap siswa akan berbeda penangkapannya terhadap hal yang sama yang diberikan oleh seorang guru
d. Fase Menyimpan, siswa menyimpan simbol-simbol hasil olahan yang telah diberi makna ke dalam long trem memori. Pada tahap ini hasil belajar telah diperoleh, baik baru sebagaian maupun keseluruhan. Perubahan-perubahan pun sudah terjadi, baik perubahan pengetahuan, sikap, ketrampilan. Untuk perubahan sikap diperlukan belajar yang tidak hanya sekali saja, tapi harus bebrapa kali, baru kemudian tampak perubahan.
e. Fase Menggali, yaitu siswa menggali informasi yang telah disimpan dalam memori jangka pendek maupun jangka panjang untuk dikaitkan informasi yang baru yang telah siswa terima. Ini terjadi pada pelajaran waktu berikutnya yang merupakan kelanjutan pelajaran sebelumnya. Penggalian ini diperlukan agar apa yang dikuasai menjadi kesatuan dengan yang akan diterima, sehingga bukan menjadi yang terlepas-lepas satu sama lain. Setelah penggalian informasi dan dikaitkan dengan informasi baru, maka terjadi lgi pengolahan informasi untuk diberikan makna seperti halnya dalam tahap mengolah untuk selanjutnya disimpan dalam memori lagi.
f.Fase Prestasi, informasi yang telah digali pada tahap sebelumnya digunakan untuk menunjukkan prestasi yang merupakan hasil belajar. Hasil belajar itu, misalnya, berupa ketrampilan mengerjakan sesuatu, kemapuan menjaab soal, atau menyelesaikan tugas.
g.Fase Umpan balik, siswa memperoleh penguatan saat perasaan puas atas prestasi yang ditunjukkan. Hal ini terjadi prestasinya tepat, tetapi sebeliknya, jika prestasi kurang memuaskan maupun tidak senang itu bisa saja diperoleh dari pendidik atau dari peserta didik itu sendiri.

Kamis, 18 Maret 2010

REVITALISASI PENDIDIKAN DI MADRASAH DI ERA TEKNOLOGI

Merosotnya moral bangsa dewasa ini sudah sampai ke titik nadir dalam sejarah perjalanan peradaban bangsa Indonesia. Adanya tawuran antar pelajar dan mahasiswa, pemerkosaan massal, pembakaran gedung sekolah, perusakan rumah, mutilasi, penjualan manusia, penipuan melalui facebook, sampai dengan perjudian menggunakan jaringan internet dan masih banyak lagi merupakan indikator yang paling meyakinkan untuk menjustifikasi klaim di atas.
Tuduhan adanya pergeseran moral di kalangan “remaja” saat ini, sebenarnya tidak lepas dari peran serta dunia pendidikan. Apa yang disampaikan di atas, bisa jadi hanyalah tuduhan sepihak bagi dunia pendidikan, mengingat dunia pendidikan memiliki peran sangat urgen dalam menciptakan stabilitas sosial. Selama ini, pencitraan dan peleburan stratifikasi sosial adalah hasil dari upaya dunia pendidikan. Tetapi di sisi lain, dunia pendidikan juga berperan besar terhadap terciptanya instabilitas sosial. Ketika formalitas pendidikan menjadi ukuran ke-profesional-an seseorang “seperti saat ini” banyak orang yang terjebak dengan status pendidikan seseorang.

Akibat dari perilaku ini setidaknya dunia pendidikan telah mengajarkan kepada kita untuk membohongi publik. Hingga tidak heran jika pada tataran kebijakan dan pelaksanaannya juga cenderung membohongi. Ditengarai bahwa institusi pendidikan telah mengalami kegagalan dalam melakukan internalisasi nilai-nilai kepada anak didiknya (Kartono, 2002).

Oleh karena itu, tidak begitu heran kalau Roem Topatimasang (2002) mengklaim bahwa sekolah sudah mati, dan bahkan merupakan candu. Bahkan pula seperti yang diyakini Sindhunata (dalam Harefa, 2003) bahwa pendidikan kita telah melahirkan air mata. Sekolah, oleh mereka sudah diyakini tidak dapat menggarap tiga taksonomi pendidikan yang merupakan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan : cognitive domain (pengembangan pengetahuan), afective domain (pembentukan sikap dan watak), dan psicomotoric (conative) domain (pengimplementasian/ melatihkan keterampilan dalam kehidupan sehari-hari) (Djohar, 200).

Kegagalan sekolah/madrasah dalam menjalankan fungsi pendidikannya lebih terlihat ketika sekolah gagal melakukan internalisasi nilai kepada para peserta didik. Kegagalan ini dipandang sebagai kekurangberdayaan pendidikan agama dan budi pekerti terutama di sekolah-sekolah umum karena menurut Kartono (2002) pendidikan (sekolah) kita telah tergadai.
Pada hakekatnya untuk mengembangkan nilai-nilai moral diperlukan adanya intervensi lingkungan sekolah. Sekolah mempunyai peran dalam mempengaruhi perkembangan moral anak. Di sekolah anak-anak bergaul dan berinteraksi baik dengan kelompok teman sebayanya maupun dengan para guru dan komponen lain yang ada. Di sini anak-anak cukup banyak memperoleh modal atau contoh-contoh perilaku dari lingkungannya.

Menurut William Chang bahwa anak-anak Indonesia dalam proses pendidikannya memerlukan peningkatan pendidikan nilai-nilai moral, karena saat ini sudah terdapat pergeseran nilai-nilai moral yang berisi penghormatan terhadap sesama manusia, tanggung jawab, kejujuran, kerukunan dan kesetiakawanan yang berasal dari nilai-nilai tradisional yang berupa adat istiadat dan kebiasaan luhur dari nenek moyang kita yang telah digeser oleh otonomi manusia dengan mendewakan kebebasan pribadi. Sehingga manusia merasa bahwa pihak lain tidak berhak mengaturnya

Pendapat senada juga terungkap dalam tulisan Peter J Drost, yang mengatakan bahwa kurikulum madrasah saat ini tampaknya lebih banyak mengemukakan muatan materi yang terlalu berat dan menitik beratkan pada kemampuan intelektual, sedangkan muatan nilai pendidikannya sudah berkurang. Sehingga anak-anak perlu diberikan pendidikan khusus tentang budi pekerti yang bisa diperoleh di rumah maupun di sekolah,.

Bahwa orang sering menganggap sekolah hanyalah sekedar eskalator sosial. Masyarakat cenderung menganggap jenjang-jenjang pendidikan formal hanyalah sebagai tahapan yang harus dilalui untuk dapat menempati status sosial yang lebih tinggi. Di kalangan anak sekolah sendiri, sudah lazim bahwa kegiatan belajar tidak dipandang sebagai proses untuk mengembangkan diri, melainkan lebih dianggap sebagai jalan pintas untuk menuju kehidupan yang lebih nyaman tanpa kerja keras dan serba menyenangkan. Yang ada dalam bayangan mereka adalah sekolah dan lulus kemudian bekerja dan dapat duit. Itulah motto yang tampaknya berlaku umum di kalangan kaum terdidik sekarang ini.

Karena itu yang perlu diusahakan dalam dunia pendidikan terutama di madrasah adalah tetap mempertahankan pendidikan etika moral dan kemanusiaan dalam upaya membentuk sumber daya manusia secara lebih utuh. Harapannya peserta didik dapat memahami dan mencapai kemanusiaan sebaik-baiknya, sehingga mengerti siapakah manusia dan bagaimana memperlakukan manusia lain sebagai manusia.

Namun demikian bukan berarti upaya-upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebaiknya dihentikan atau dianggap tidak perlu. Pendidikan etika dan moral tidak bermaksud menentang atau menghambat usaha mendidik tenaga-tenaga ahli dibidang teknologi. Kemampuan teknologi dan professional dan lainnya yang dimiliki seseorang akan makin optimal dan makin luas mamfaatnya bagi bangsa, apabila manusia pemiliknya makin tinggi moral dan rasa kemanusiaannya, sebaliknya akan sangat berbahaya apabila kemampuan dan kecakapan teknologis dan professional di bidang tertentu dimiliki oleh seseorang yang jauh dari kecerdasan moral.